-Chapter 1-
Suara sayup-sayup televisi di ruang tengah sampai ke dapur, tempat seorang perempuan yang tidak lain adalah ibu rumah tangga di rumah itu sedang mencelupkan teabag ke dalam salah satu dari lima cangkir di konter ketika anak lelakinya menerobos masuk ke dapur sambil tertawa-tawa, diikuti pekikan tertahan anak perempuan di belakangnya.
“Hayooo jailin adeknya lagi” Perempuan itu mengalihkan perhatian dari teabag di tangannya ke arah kedua anaknya yang kini menjadikan area dapur sebagai tempat kejar-kejaran.
“Ini masih pagi, Rizky Kusuma Haqiqi”
Anak lelaki yang disebut namanya berhenti berlarian sebelum menyenggol panci, wajan dan perangkat dapur lainnya. Ia tahu, dipanggil dengan nama lengkap oleh ibunya saat ia sedang melakukan satu dari 101 kejahilan seorang kakak terhadap adik bukanlah pertanda baik. Jadi ia langsung duduk di kursi di meja makan dan bersikap sebagaimana anak sulung yang seharusnya sebelum ayahnya ikut bergabung.
Adik perempuan kecilnya ikut duduk di sampingnya, dengan bibir sedikit mengerucut gemas, ia masih kesal tapi kakaknya dengan cepat mengacak-acak rambutnya penuh sayang. “Baikan ya, Dek? Hehe”
“Emang berantem kenapa sih” Tanya ibunya sambil meletakkan mangkuk-mangkuk berisi susu dan sekotak sereal di meja. Anak-anaknya punya kebiasaan menuangkan sereal mereka sendiri ke mangkuk dan menambahkan topping macam-macam termasuk potongan buah pisang dan coklat batangan, jadi dia membiarkan anak-anaknya menyiapkan sendiri sarapannya hari itu seperti biasa.
“Kakak tadi masuk kamar aku terus loncat-loncat di tempat tidur aku. Emangnya kasur aku trampolin apaa” Ia melirik sebal ke arah kakaknya yang dengan cuek menuangkan sereal banyak-banyak.
Ibu mereka baru hendak menanggapi ketika dua lelaki yang tidak lain adalah suaminya dan anak lelakinya yang satu lagi memasuki ruang makan.
Suaminya terlihat segar sehabis mandi, ia mencium pipi istrinya sekilas sebelum akhirnya duduk di kursi dan mengecek anak-anaknya.
“Kakak belum mandi?” Tanyanya pada putra sulungnya yang kini sibuk menambahkan jenis sereal yang berbeda ke dalam mangkuknya.
Anak sulungnya memandang ayahnya dengan sorot mata yang seolah berkata: ‘Yang benar saja, ini Sabtu pagi dan di luar hujan. Apakah aku harus mandi?’
“Dilihat dari cuaca, kayaknya kakak gak bakal mandi sampe ada matahari” Adik lelakinya menerjemahkan maksud pandangan tersebut dengan tepat.
Ayah mereka hanya bisa menghela napas, “Ya tapi seenggaknya kamu sarapan setelah cuci muka dong kak”
“Iya pah, abis sarapan aku cuci muka”
Ayah mengalihkan perhatian pada putri kecilnya, “Kalo Dek Anggi? Udah mandi kan?”
Dek Anggi mengangguk-angguk.
“Ada undangan resmi reuni kemarin, pas aku buka email” Ibu dari ketiga anak itu menyodorkan cangkir teh suaminya.
“Reuni? Reuni apa?”
“Reuni SMA”
“Oh, kapan?”
“Dua minggu lagi”
Ia menatap istrinya, seolah ingin berkata bahwa keseluruhan ide reuni tersebut tidak penting dan ia tidak berminat datang. Toh ia masih sering bertemu dengan teman-teman SMA-nya karena mereka entah bagaimana selalu bisa menyeretnya untuk ikut agenda futsal dan semacamnya. Tapi kelihatannya istrinya ingin datang karena selanjutnya ia sudah bercerita betapa kangennya ia pada teman-teman lamanya yang juga sudah menikah dan punya anak.
Anak sulung mereka tiba-tiba memotong obrolan reuni tersebut dengan gumaman: “Oh iya, papa sama mama kan satu SMA ya”
Kemudian mata Dek Anggi memancarkan sorot penasaran, “Seru dong Mah Pah, satu sekolah”
Ayah ibu mereka berpandangan penuh arti, dan ketika mereka mengalihkan pandang, sorot penasaran itu bukan hanya ada di mata Dek Anggi. Kedua anak lelaki mereka juga memperhatikan mereka. Menunggu.
“Ceritain masa SMA mama sama papa dong!!!”
Sabtu pagi, teh hangat, titik-titik air hujan di luar dan cerita lama. Bukan ide buruk.
*
Annisa, 15 tahun.
Gadis itu berjalan cepat keluar kelasnya, kelas XI IPA 2 begitu ketua kelas selesai memimpin doa dan memberi salam pada guru. Sedikit menggerutu karena guru kimianya tadi menambah jam pelajaran menjadi dua puluh lima menit lebih lama setelah bel pulang berbunyi, membuatnya terlambat untuk sesuatu yang penting. Ia mempercepat langkah. Ia harus cepat, cepat, cepat, sebelum buku yang diincarnya diambil oleh siswa lain.
Hari itu hari Rabu dan Rabu punya makna penting bagi Annisa selain fakta bahwa ia lahir di hari Rabu dan ia selalu memberikan simbol daun pada hari Rabu seperti ia memberi simbol langit pada hari Minggu, hari Rabu juga adalah hari di mana petugas perpustakaan sekolah mendatangkan koleksi buku-buku baru yang biasanya akan langsung diserbu oleh siswa-siswa gila baca seperti dirinya. Jika tidak cepat, kemungkinan besar buku yang bagus keburu diambil orang, dan ia tidak suka membayangkan ia harus menunggu satu pekan sebelum akhirnya buku itu dikembalikan. Itupun jika si peminjam tidak memperpanjang peminjaman. Intinya, ia harus cepat.
Harapannya mendadak menjadi balon yang langsung meletus begitu saja begitu tiba di depan perpustakaan dan melihat banyak sepatu siswa berserakan. Pasti sudah ramai di dalam dan kemungkinannya kecil ia bisa mendapatkan buku bagus apalagi novel.
Entah ini mengherankan atau tidak, siswa-siswa di sekolah ini memiliki minat baca yang cukup tinggi, meskipun ini bukan berarti perpustakaan selalu penuh, tapi setiap siswa pasti pernah meminjam buku minimal dua kali, siswa yang tidak suka baca sekalipun. Belum lagi para siswi yang sangat menggandrungi novel remaja, membuat petugas perpustakaan tidak bisa tidak mencantumkan judul-judul teenlit ke dalam daftar koleksi yang harus dibeli.
Annisa mengintip ragu lewat jendela perpustakaan, tidak terlalu ramai sebenarnya, hanya ada beberapa siswa yang duduk di meja baca dan dua gerombolan siswa duduk lesehan di atas karpet di sudut baca. Namun, melihat petugas perpustakaan yang kelihatan sibuk di belakang meja sirkulasi, Annisa yakin ia telah melewatkan pesta buku baru para geek di sekolah ini. Pasti sebagian besar buku baru sudah dipinjam.
Tapi tidak ada salahnya mencoba, ia membuka sepatunya dan meletakkannya di satu-satunya tempat kosong di rak sepatu lalu memasuki perpus.
“Aku telat ya, Bu” Ujarnya pada Bu Iis, ibu petugas perpustakaan yang begitu melihatnya langsung tersenyum.
“Kamu ke mana emangnya tadi, Nis?”
“Bu Ratna, Bu” Annisa mengangkat bahu sambil meletakkan ranselnya di loker penitipan tas, “Nambahin jam pelajaran”
Annisa masih kelihatan kecewa ketika menyodorkan novel Asma Nadia dan Mochtar Lubis beserta kartu anggota perpusnya di atas meja sirkulasi. “Yang Mochtar Lubis aku perpanjang deh Bu”
“Kamu gak mau pinjem lagi?”
Annisa mengedarkan pandangannya ke arah buku-buku yang tersusun rapi di rak. “Coba aku liat-liat dulu”
Ini tahun kedua ia bersekolah di sini dan ia sudah merasa seperti sudah membaca lebih dari sepertiga koleksi buku di perpustakaan sekolahnya, dan koleksi tersebut tidak bisa dibilang sedikit.
Bu Iis melirik gadis itu yang masih kelihatan kecewa, tidak tega sebenarnya. Annisa sering membantunya merapikan buku-buku saat para siswa lain sudah pulang, memberi makan ikan-ikan di aquarium perpustakaan, bahkan membantu menyampul buku-buku yang belum disampul plastik. Ia sudah seperti anggota perpustakaan istimewa.
“Kamu boleh pinjem lebih dari tiga deh” Bu Iis berusaha menghibur.
Annisa menoleh bersemangat, kabut kecewa di matanya seketika hilang. “Beneran nih Bu???”
“Iyaa, tapi khusus hari ini aja ya. Selanjutnya aturan maksimal tiga buku tetep berlaku”
“Huhuhu aku sayang Bu Iis”
Setelah itu Annisa sudah memasuki dunianya sendiri, diam di depan rak demi rak, menarik satu demi satu buku, memilih mana yang akan ia bawa pulang.
Bu Iis sudah hafal kebiasaan anak itu, selanjutnya ia akan tenggelam menekuni satu buku berganti buku lainnya sebelum akhirnya menentukan mana yang akan ia pinjam, dan tidak ada yang bisa mengganggunya saat itu, tidak Bu Iis, tidak juga teman-temannya. Mungkin karena itulah ia lebih sering datang ke perpustakaan sendirian. Ia seperti berada dalam gelembung yang membuatnya terasing dari dunia luar setiap kali bertemu dengan buku-buku, dan gelembung itu baru akan pecah ketika waktu menunjukkan pukul tiga sore. Jam tutup perpustakaan.
“Ngomong-ngomong kamu udah zuhur belum?” Tegur Bu Iis sebelum Annisa benar-benar larut dalam gelembung tak kelihatan itu.
“Aku lagi dapet, Bu” Jawabnya. Bu Iis-pun tidak bertanya lagi, ia merapikan meja sirkulasi ketika tiga anak lelaki dari kelas XI IPA 4 memasuki perpustakaan.
*
Dyo, 15 tahun
Jika boleh jujur, sebenarnya Dyo bukanlah anak yang suka membaca. Ia tidak termasuk ke dalam tipe siswa yang kartu anggota perpustakaannya penuh dengan daftar buku yang dipinjam selama satu semester. Ok, ia suka membaca, ia suka pelajaran bahasa, ia juga pasti membaca buku pelajaran, hanya saja ia tidak sekutu-buku Wirya, teman sekelasnya yang selalu membawa buku kemana-mana, tidak juga seperti Damar, teman sekelasnya di kelas sepuluh yang menganggap perpustakaan sebagai rumah keduanya.
Dyo juga bisa dibilang jarang ke perpustakaan, ia ke perpustakaan hanya jika guru bahasanya memberi tugas membaca roman lama atau ketika OSIS mengadakan rapat darurat di perpus karena ruang OSIS dipakai untuk kepentingan lain atau ketika mengerjakan tugas kelompok yang melibatkan buku di perpustakaan... seperti sekarang.
“Yo, ketemu gak?” Tanya Rama di sebelahnya, sama-sama mencari buku tentang sel untuk tugas kelompok biologi mereka, yang membuat mereka segera meluncur ke perpustakaan segera setelah sholat zuhur berjamaah di masjid sekolah dan makan siang dengan terburu-buru di kantin.
“Kayaknya kemaren gue liat bukunya di sini deh. Apa gue tanya Bu Iis aja?” Dyo menaruh buku tebal berjudul Evolusi Manusia kembali ke rak.
“Gak usah, gak usah, udah ketemu” Angga mengacungkan buku yang mereka cari. “Hebat kan gue, cepet nemunya”
“Biasa aja” Sahut Dyo yang langsung kena timpuk buku ensiklopedia saku oleh kedua temannya.
Selanjutnya mereka bertiga mulai sibuk menuliskan berbagai informasi dari buku tersebut ke dalam buku catatan mereka untuk bahan makalah. Tidak makan waktu lama, ketika waktu menunjukkan pukul 14.02, mereka sudah selesai mencatat.
“Sip, siapa nih yang mau ngetik?” Tanya Rama.
“Bagi rata aja. Eh Yo, data bukunya udah ditulis kan? Buat di daftar pustaka”
“Udah”
“Ok deh. Yuk balik”
Dyo melirik jam tangan hitamnya, “Kalian duluan aja”
“Emang lo mau ngapain?”
“Ada rapat OSIS ntar jam tiga, gue di sini dulu deh sambil nunggu”
Angga menepuk pundaknya, “Boleh juga nih Paketos kita, rapat terooos”
Dyo tertawa kalem, “Rapat biasa kok, buat kegiatan Bulan Bahasa ntar”
“Ya udah, kalo gitu gue sama Rama duluan ya”
Sepeninggal Angga dan Rama, Dyo memutuskan untuk keluar dari sudut baca yang memang sesuai dengan sebutan harfiahnya, benar-benar di sudut ruangan, dipisahkan oleh rak-rak buku sebagai sekat yang menghalanginya dengan bagian utama perpustakaan yang penuh dengan meja-meja dan kursi di antara rak-rak penuh buku.
Matanya menyapu seisi ruangan, hanya ada dua siswa selain dirinya, dan keduanya sedang asik membaca. Dyo melangkah pelan menuju rak komik, memilih komik yang akan ia baca untuk membunuh waktu selagi menunggu pukul tiga. Suasana tenang sekali saat itu, hanya ada alunan pelan musik instrumen yang berasal dari speaker di dekat komputer di meja sirkulasi dan suara lembaran buku dibalik.
Dyo mengambil dua buah komik One Piece dan satu komik Kindaichi, ia membawanya kembali ke sudut baca. Menit berikutnya ia sudah duduk bersila di atas karpet di sudut baca, punggungnya bersandar ke tembok dan ia mulai membaca komik dengan tentram.
Diam-diam Dyo mulai menyukai perpustakaan, meskipun ia tidak begitu rajin membaca, ia suka dengan ketenangan, ia suka menghabiskan waktunya sendirian dan tidak diganggu. Dyo menyadari bahwa perpustakaan adalah tempat yang tepat untuk ketenangan yang dia cari.
Ke mana saja ia selama ini? Mendadak ia berharap jarum jam pendek tidak cepat-cepat bergerak ke angka tiga.
*
“Bu Iisss, aku pulang dulu ya” Kata Nisa seraya meletakkan ketujuh buku yang akan dipinjamnya di atas meja.
“Iya, sebentar lagi juga tutup kok” Bu Iis melihat ke arah jam dinding. Jam tiga kurang lima belas menit.
Segera setelah urusan pinjam meminjam buku selesai, Nisa mengambil ranselnya di loker dan memutuskan untuk memasukkan buku-buku yang ia pinjam ke dalam ransel nanti setelah ia mengenakan sepatunya.
Tapi....
“Lho, sepatuku mana” Ia yakin tadi ia menaruh sepatunya di sini, di tingkat ketiga rak sepatu. Tapi.... kenapa sekarang sepatunya berganti dengan sepatu yang kelihatannya sepatu laki-laki?
Kening Nisa berkerut, pasti ada yang memindahkan sepatunya.
Ia memperhatikan ke arah sekeliling, perpustakaan sudah sepi jadi hanya ada tiga sepatu selain sepatu Bu Iis yang tersisa di luar, satu yang ada di rak menggantikan posisi sepatunya, satu lagi di bawah rak, satu lagi di.....
“Siapa yang naro di deket tempat sampah sih???” Nisa segera mengambil sepatunya sambil menggerutu.
Ia menaruh buku-buku di sebelahnya lalu mengenakan sepatunya, masih sambil menggerutu perlahan. Nisa bisa saja mengambil sepatu yang dengan sombongnya bertengger di rak itu lalu menaruhnya di dekat tempat sampah seperti sepatunya tadi, tapi tidak, ia bukan pendendam. Hanya saja ia belum puas mengomel.
Seraya memeluk buku-bukunya ia menggeser sepatu tersebut dengan ujung telunjuknya, “Punya siapa sih nih sebenernya. Belum pernah kelilipan sepatu ya.” Nisa mengomel dengan nada rendah.
“Kenapa?” Sebuah suara dari belakang Nisa membuatnya sedikit terlonjak, ia menoleh, si sumber suara kembali bertanya, “Diapain sama sepatu saya?”
‘Sepatu saya’ dia bilang. ‘SEPATU SAYA’??? Jadi ini pemiliknya????? Nisa membelalak, jantungnya mendadak mencelos menyadari bahwa lelaki di depannya adalah ketua OSIS yang baru saja menjabat.
Ia tergeragap meskipun sebenarnya ia tidak mengerti kenapa ia mesti gugup. Ia tidak melakukan kesalahan apa-apa, mengomeli sepasang sepatu tidak terhitung kesalahan kan?
“Ng...” Nisa menggigit bibir, memeluk buku-bukunya lebih erat, “Nggak. Gak apa-apa”
Dan detik berikutnya ia sudah berlari pergi meninggalkan si ketua OSIS dan sepatunya dengan kecepatan seperti peluru lepas dari senapan.
*
Gadis itu berbelok dari koridor, membuat Dyo yang memperhatikannya dari belakang dengan mata menyipit tidak melihatnya berlari lagi. Dyo menggeleng perlahan, tidak mengerti kenapa gadis itu harus berlari.
Terlebih Dyo juga merasa konyol, dari sekian banyak pertanyaan kenapa yang terlontar dari mulutnya adalah “Diapain sama sepatu saya?”. Memangnya apa yang bisa dilakukan sepasanga sepatu?
Sejenak ia tersenyum tipis, gadis aneh, pikirnya. Dyo sempat melihat buku-buku yang dibawa gadis tadi, ada tujuh, jumlah yang cukup banyak untuk peminjam buku di perpustakaan sekolah, mengingat aturan peminjaman maksimal tiga buku.
Ada buku besar berjudul ‘Tokyo’ di antara buku-buku yang tadi gadis itu bawa, membuat Dyo tertarik, belum lagi buku-buku lain, ada Narnia jilid keempat, buku NH Dini, buku Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Pipiet Senja, dan Enid Blyton. Perpaduan yang tidak biasa, bacaan gadis itu. Menit berikutnya Dyo sedikit terkejut dirinya sempat memperhatikan dan mengingat detail buku-buku yang dibawa gadis itu.
Ia mengenakan sepatunya sambil berpikir, siapa yang memindahkan sepatunya ke rak? Seingatnya tadi ia meletakkannya di bawah.
Dyo tidak tahu siapa yang memindahkan sepatunya sama seperti ia tidak tahu bahwa siapapun yang memindahkan sepatunya waktu itu, telah membuka satu cerita baru dalam hidupnya.
*
“Nis, kenapa sih mau keluar kelas aja mesti ngintip-ngintip gitu?” Ami, teman sebangku Annisa sekaligus tempatnya menumpahkan segala keluh kesah termasuk cerita di perpustakaan tempo hari menegur Nisa yang sedang melongokkan kepalanya ke luar pintu kelas, menengok kanan kiri, meyakinkan diri bahwa baik depan kelasnya maupun koridor, steril dari keberadaan seseorang yang ia hindari.
“Takut ketemu si Dyo Dyo itu?” Tanya Ami lagi, membuat Nisa langsung mendelik.
“Jangan keras-keras ngomongnya! Ntar kedengeran yang lain disangkanya gue naksir dia”
Ami tertawa, “Ya naksir juga gapapa kali? Dia ganteng, terus berkarisma gitu lagi, ya iyalaah ketua OSIIIIS”
“Apaan sih,” Nisa mendelik untuk kedua kalinya, “Karisma karisma, emangnya dia motor??”
“Aduh, udah ah, kelamaan lo” Ami menarik sahabatnya itu keluar kelas sebelum Nisa sempat memprotes. “Takut banget. Lo kan gak ngapa-ngapain”
“Ya tapi gue ngomelin sepatu dia??? Dia pasti nganggep gue aneh”
“Emang aneh...” Ami menyadari perubahan air muka Nisa dan cepat-cepat menambahkan, “Lagian peduli amat sih? Kan lo juga gak kenal dia, dia gak kenal lo”
Nisa menyadari perkataan Ami benar. Tapi entah kenapa, ia takut bertemu lagi dengan lelaki itu. Sejak interaksi pertama mereka di depan perpustakaan kemarin, Nisa merasa bahwa setiap kali ia tidak sengaja berpapasan dengan Dyo, Dyo sedikit meliriknya dan.... ok, ia tahu ia gila, tapi ia benar-benar merasa seperti Dyo mengamatinya. Seperti... penasaran? Nisa tidak tahu pasti.
Tidak jarang juga Dyo melewati kelasnya ketika jam pelajaran dan dari tempat duduknya di meja ketiga di baris pojok dekat jendela, Nisa bisa melihat Dyo sedikit melirik ke arahnya. Sedikit dan sekilas. Sangat sekilas, seperti hanya satu milisekon.
Ok, mungkin ini hanya perasaannya saja. Makanya ia tidak menceritakan ini pada Ami karena pasti Ami akan berkata: “Ah itu cuma perasaan lo doang”
“Nggak ada kan?” Ami menyikut Nisa yang langsung mengedarkan pandangan ke setiap penjuru koridor. Tidak ada tanda-tanda siswa XI IPA 4 di situ, tidak ada tanda-tanda Dyo di situ.
Saat itu Pak Achyar, guru fisika mereka tidak masuk sehingga otomatis kelas IPA 2 mendapatkan jam kosong yang langsung dimanfaatkan sebagian besar siswa untuk mengobrol, tidur, atau ke kantin, termasuk Nisa dan Ami.
Mereka berjalan ke kantin dan Ami masih berceloteh tentang ketakutan Nisa yang berlebihan. Tatapan Nisa lalu tertumbuk ke arah lapangan, “Eh Mi, itu yang lagi olahraga anak IPA 4 bukan?”
Ami mengikuti arah pandang Nisa, “Iya, XI IPA 4. Kenapa emang?”
“Kenapa lo bilang??? Ya berarti ada Dyo dong???” Nisa buru-buru mengambil posisi di sebelah sahabat karibnya itu, supaya terhalang dari jarak pandang lapangan.
Ami menghembuskan napas lelah,“Ini lama-lama si Dyo kayak setan di film Jelangkung ya”
“Kok Jelangkung?????”
“Ya lo sih! Kenapa takut amat??”
“Gak tau Mi, gue juga gak tau kenapa”
“Santai aja Nis, ya ampun. Kayaknya dia juga udah lupa sepatunya lo maki-maki”
“Gue gak maki-maki sepatunya..”
“Ya pokoknya gitulah”
Nisa diam-diam mengintip dari balik bahu Ami ke arah lapangan, kelas IPA 4 sepertinya sedang test lari sprint dan tepat saat itu, Dyo terlihat berlari cukup kencang menuju garis finish, bagian depan rambutnya tersibak angin membuat Nisa sedikit terkesiap dan ia tidak tahu alasannya.
Dyo di lapangan menyelesaikan test larinya lalu membungkuk, mengatur napas, tidak menyadari kalau ia sedang diperhatikan dari jauh. Saat itulah tangan kanannya terulur, jari-jarinya menyibak bagian depan rambutnya membuat orang yang sedang memperhatikannya diam-diam dari jauh merasakan sesuatu yang aneh, yang membuat perutnya mulas dan lagi-lagi ia tidak tahu alasannya.
Setibanya di kantin, Nisa masih merasakan hal yang tidak bisa ia deskripsikan tadi, tapi ia memilih diam. Membiarkan bayangan si ketua OSIS menyibak rambutnya tadi berkelebatan di otaknya.
Ami sedang memesan es milo untuk mereka berdua ketika Rafi, ketua ekskul majalah sekolah menghampiri Nisa di mejanya. Ia terlihat terburu-buru.
“Ngelamun aja, Nis” Tegurnya membuat Nisa tersentak.
“Eh, hai Raf”
Rafi duduk di depan Nisa sambil menyodorkan secarik kertas. “Tugas baru buat lo nih”
Kening Nisa berkerut, dia memang anggota ekskul majalah sekolah, tapi ia baru tahu kalau ia mendapat tugas tambahan. “Gue kan udah ngirim artikel ke email lo kemaren?”
“Ini tugas darurat, Nis”
“Tugas darurat apa?”
“Tim reporter kekurangan orang buat edisi bulan ini. Lo tau kan si Vina masih sakit. Lo mau gak gantiin tugasnya?”
Nisa memutar mata, tahu benar bahwa ‘mau’ yang dimaksud Rafi adalah ‘bisa’. Jadi kalau tadi dia bilang ‘Lo mau gak gantiin tugasnya?’ sama dengan ‘Lo bisa gak gantiin tugasnya? Bisa dong. Harus.’
“Plis Nis... cuma wawancara satu orang doang kok” Rafi memohon.
Ya kan? Pada akhirnya dia tidak bisa menolak.
“Hhhh. Ok”
“Yesss. Thanks Nis”
“Siapa yang mesti gue wawancara?”
Rafi tersenyum lebar sebelum menjawab, “Ketua OSIS kita.”
*
Suara sayup-sayup televisi di ruang tengah sampai ke dapur, tempat seorang perempuan yang tidak lain adalah ibu rumah tangga di rumah itu sedang mencelupkan teabag ke dalam salah satu dari lima cangkir di konter ketika anak lelakinya menerobos masuk ke dapur sambil tertawa-tawa, diikuti pekikan tertahan anak perempuan di belakangnya.
“Hayooo jailin adeknya lagi” Perempuan itu mengalihkan perhatian dari teabag di tangannya ke arah kedua anaknya yang kini menjadikan area dapur sebagai tempat kejar-kejaran.
“Ini masih pagi, Rizky Kusuma Haqiqi”
Anak lelaki yang disebut namanya berhenti berlarian sebelum menyenggol panci, wajan dan perangkat dapur lainnya. Ia tahu, dipanggil dengan nama lengkap oleh ibunya saat ia sedang melakukan satu dari 101 kejahilan seorang kakak terhadap adik bukanlah pertanda baik. Jadi ia langsung duduk di kursi di meja makan dan bersikap sebagaimana anak sulung yang seharusnya sebelum ayahnya ikut bergabung.
Adik perempuan kecilnya ikut duduk di sampingnya, dengan bibir sedikit mengerucut gemas, ia masih kesal tapi kakaknya dengan cepat mengacak-acak rambutnya penuh sayang. “Baikan ya, Dek? Hehe”
“Emang berantem kenapa sih” Tanya ibunya sambil meletakkan mangkuk-mangkuk berisi susu dan sekotak sereal di meja. Anak-anaknya punya kebiasaan menuangkan sereal mereka sendiri ke mangkuk dan menambahkan topping macam-macam termasuk potongan buah pisang dan coklat batangan, jadi dia membiarkan anak-anaknya menyiapkan sendiri sarapannya hari itu seperti biasa.
“Kakak tadi masuk kamar aku terus loncat-loncat di tempat tidur aku. Emangnya kasur aku trampolin apaa” Ia melirik sebal ke arah kakaknya yang dengan cuek menuangkan sereal banyak-banyak.
Ibu mereka baru hendak menanggapi ketika dua lelaki yang tidak lain adalah suaminya dan anak lelakinya yang satu lagi memasuki ruang makan.
Suaminya terlihat segar sehabis mandi, ia mencium pipi istrinya sekilas sebelum akhirnya duduk di kursi dan mengecek anak-anaknya.
“Kakak belum mandi?” Tanyanya pada putra sulungnya yang kini sibuk menambahkan jenis sereal yang berbeda ke dalam mangkuknya.
Anak sulungnya memandang ayahnya dengan sorot mata yang seolah berkata: ‘Yang benar saja, ini Sabtu pagi dan di luar hujan. Apakah aku harus mandi?’
“Dilihat dari cuaca, kayaknya kakak gak bakal mandi sampe ada matahari” Adik lelakinya menerjemahkan maksud pandangan tersebut dengan tepat.
Ayah mereka hanya bisa menghela napas, “Ya tapi seenggaknya kamu sarapan setelah cuci muka dong kak”
“Iya pah, abis sarapan aku cuci muka”
Ayah mengalihkan perhatian pada putri kecilnya, “Kalo Dek Anggi? Udah mandi kan?”
Dek Anggi mengangguk-angguk.
“Ada undangan resmi reuni kemarin, pas aku buka email” Ibu dari ketiga anak itu menyodorkan cangkir teh suaminya.
“Reuni? Reuni apa?”
“Reuni SMA”
“Oh, kapan?”
“Dua minggu lagi”
Ia menatap istrinya, seolah ingin berkata bahwa keseluruhan ide reuni tersebut tidak penting dan ia tidak berminat datang. Toh ia masih sering bertemu dengan teman-teman SMA-nya karena mereka entah bagaimana selalu bisa menyeretnya untuk ikut agenda futsal dan semacamnya. Tapi kelihatannya istrinya ingin datang karena selanjutnya ia sudah bercerita betapa kangennya ia pada teman-teman lamanya yang juga sudah menikah dan punya anak.
Anak sulung mereka tiba-tiba memotong obrolan reuni tersebut dengan gumaman: “Oh iya, papa sama mama kan satu SMA ya”
Kemudian mata Dek Anggi memancarkan sorot penasaran, “Seru dong Mah Pah, satu sekolah”
Ayah ibu mereka berpandangan penuh arti, dan ketika mereka mengalihkan pandang, sorot penasaran itu bukan hanya ada di mata Dek Anggi. Kedua anak lelaki mereka juga memperhatikan mereka. Menunggu.
“Ceritain masa SMA mama sama papa dong!!!”
Sabtu pagi, teh hangat, titik-titik air hujan di luar dan cerita lama. Bukan ide buruk.
*
Annisa, 15 tahun.
Gadis itu berjalan cepat keluar kelasnya, kelas XI IPA 2 begitu ketua kelas selesai memimpin doa dan memberi salam pada guru. Sedikit menggerutu karena guru kimianya tadi menambah jam pelajaran menjadi dua puluh lima menit lebih lama setelah bel pulang berbunyi, membuatnya terlambat untuk sesuatu yang penting. Ia mempercepat langkah. Ia harus cepat, cepat, cepat, sebelum buku yang diincarnya diambil oleh siswa lain.
Hari itu hari Rabu dan Rabu punya makna penting bagi Annisa selain fakta bahwa ia lahir di hari Rabu dan ia selalu memberikan simbol daun pada hari Rabu seperti ia memberi simbol langit pada hari Minggu, hari Rabu juga adalah hari di mana petugas perpustakaan sekolah mendatangkan koleksi buku-buku baru yang biasanya akan langsung diserbu oleh siswa-siswa gila baca seperti dirinya. Jika tidak cepat, kemungkinan besar buku yang bagus keburu diambil orang, dan ia tidak suka membayangkan ia harus menunggu satu pekan sebelum akhirnya buku itu dikembalikan. Itupun jika si peminjam tidak memperpanjang peminjaman. Intinya, ia harus cepat.
Harapannya mendadak menjadi balon yang langsung meletus begitu saja begitu tiba di depan perpustakaan dan melihat banyak sepatu siswa berserakan. Pasti sudah ramai di dalam dan kemungkinannya kecil ia bisa mendapatkan buku bagus apalagi novel.
Entah ini mengherankan atau tidak, siswa-siswa di sekolah ini memiliki minat baca yang cukup tinggi, meskipun ini bukan berarti perpustakaan selalu penuh, tapi setiap siswa pasti pernah meminjam buku minimal dua kali, siswa yang tidak suka baca sekalipun. Belum lagi para siswi yang sangat menggandrungi novel remaja, membuat petugas perpustakaan tidak bisa tidak mencantumkan judul-judul teenlit ke dalam daftar koleksi yang harus dibeli.
Annisa mengintip ragu lewat jendela perpustakaan, tidak terlalu ramai sebenarnya, hanya ada beberapa siswa yang duduk di meja baca dan dua gerombolan siswa duduk lesehan di atas karpet di sudut baca. Namun, melihat petugas perpustakaan yang kelihatan sibuk di belakang meja sirkulasi, Annisa yakin ia telah melewatkan pesta buku baru para geek di sekolah ini. Pasti sebagian besar buku baru sudah dipinjam.
Tapi tidak ada salahnya mencoba, ia membuka sepatunya dan meletakkannya di satu-satunya tempat kosong di rak sepatu lalu memasuki perpus.
“Aku telat ya, Bu” Ujarnya pada Bu Iis, ibu petugas perpustakaan yang begitu melihatnya langsung tersenyum.
“Kamu ke mana emangnya tadi, Nis?”
“Bu Ratna, Bu” Annisa mengangkat bahu sambil meletakkan ranselnya di loker penitipan tas, “Nambahin jam pelajaran”
Annisa masih kelihatan kecewa ketika menyodorkan novel Asma Nadia dan Mochtar Lubis beserta kartu anggota perpusnya di atas meja sirkulasi. “Yang Mochtar Lubis aku perpanjang deh Bu”
“Kamu gak mau pinjem lagi?”
Annisa mengedarkan pandangannya ke arah buku-buku yang tersusun rapi di rak. “Coba aku liat-liat dulu”
Ini tahun kedua ia bersekolah di sini dan ia sudah merasa seperti sudah membaca lebih dari sepertiga koleksi buku di perpustakaan sekolahnya, dan koleksi tersebut tidak bisa dibilang sedikit.
Bu Iis melirik gadis itu yang masih kelihatan kecewa, tidak tega sebenarnya. Annisa sering membantunya merapikan buku-buku saat para siswa lain sudah pulang, memberi makan ikan-ikan di aquarium perpustakaan, bahkan membantu menyampul buku-buku yang belum disampul plastik. Ia sudah seperti anggota perpustakaan istimewa.
“Kamu boleh pinjem lebih dari tiga deh” Bu Iis berusaha menghibur.
Annisa menoleh bersemangat, kabut kecewa di matanya seketika hilang. “Beneran nih Bu???”
“Iyaa, tapi khusus hari ini aja ya. Selanjutnya aturan maksimal tiga buku tetep berlaku”
“Huhuhu aku sayang Bu Iis”
Setelah itu Annisa sudah memasuki dunianya sendiri, diam di depan rak demi rak, menarik satu demi satu buku, memilih mana yang akan ia bawa pulang.
Bu Iis sudah hafal kebiasaan anak itu, selanjutnya ia akan tenggelam menekuni satu buku berganti buku lainnya sebelum akhirnya menentukan mana yang akan ia pinjam, dan tidak ada yang bisa mengganggunya saat itu, tidak Bu Iis, tidak juga teman-temannya. Mungkin karena itulah ia lebih sering datang ke perpustakaan sendirian. Ia seperti berada dalam gelembung yang membuatnya terasing dari dunia luar setiap kali bertemu dengan buku-buku, dan gelembung itu baru akan pecah ketika waktu menunjukkan pukul tiga sore. Jam tutup perpustakaan.
“Ngomong-ngomong kamu udah zuhur belum?” Tegur Bu Iis sebelum Annisa benar-benar larut dalam gelembung tak kelihatan itu.
“Aku lagi dapet, Bu” Jawabnya. Bu Iis-pun tidak bertanya lagi, ia merapikan meja sirkulasi ketika tiga anak lelaki dari kelas XI IPA 4 memasuki perpustakaan.
*
Dyo, 15 tahun
Jika boleh jujur, sebenarnya Dyo bukanlah anak yang suka membaca. Ia tidak termasuk ke dalam tipe siswa yang kartu anggota perpustakaannya penuh dengan daftar buku yang dipinjam selama satu semester. Ok, ia suka membaca, ia suka pelajaran bahasa, ia juga pasti membaca buku pelajaran, hanya saja ia tidak sekutu-buku Wirya, teman sekelasnya yang selalu membawa buku kemana-mana, tidak juga seperti Damar, teman sekelasnya di kelas sepuluh yang menganggap perpustakaan sebagai rumah keduanya.
Dyo juga bisa dibilang jarang ke perpustakaan, ia ke perpustakaan hanya jika guru bahasanya memberi tugas membaca roman lama atau ketika OSIS mengadakan rapat darurat di perpus karena ruang OSIS dipakai untuk kepentingan lain atau ketika mengerjakan tugas kelompok yang melibatkan buku di perpustakaan... seperti sekarang.
“Yo, ketemu gak?” Tanya Rama di sebelahnya, sama-sama mencari buku tentang sel untuk tugas kelompok biologi mereka, yang membuat mereka segera meluncur ke perpustakaan segera setelah sholat zuhur berjamaah di masjid sekolah dan makan siang dengan terburu-buru di kantin.
“Kayaknya kemaren gue liat bukunya di sini deh. Apa gue tanya Bu Iis aja?” Dyo menaruh buku tebal berjudul Evolusi Manusia kembali ke rak.
“Gak usah, gak usah, udah ketemu” Angga mengacungkan buku yang mereka cari. “Hebat kan gue, cepet nemunya”
“Biasa aja” Sahut Dyo yang langsung kena timpuk buku ensiklopedia saku oleh kedua temannya.
Selanjutnya mereka bertiga mulai sibuk menuliskan berbagai informasi dari buku tersebut ke dalam buku catatan mereka untuk bahan makalah. Tidak makan waktu lama, ketika waktu menunjukkan pukul 14.02, mereka sudah selesai mencatat.
“Sip, siapa nih yang mau ngetik?” Tanya Rama.
“Bagi rata aja. Eh Yo, data bukunya udah ditulis kan? Buat di daftar pustaka”
“Udah”
“Ok deh. Yuk balik”
Dyo melirik jam tangan hitamnya, “Kalian duluan aja”
“Emang lo mau ngapain?”
“Ada rapat OSIS ntar jam tiga, gue di sini dulu deh sambil nunggu”
Angga menepuk pundaknya, “Boleh juga nih Paketos kita, rapat terooos”
Dyo tertawa kalem, “Rapat biasa kok, buat kegiatan Bulan Bahasa ntar”
“Ya udah, kalo gitu gue sama Rama duluan ya”
Sepeninggal Angga dan Rama, Dyo memutuskan untuk keluar dari sudut baca yang memang sesuai dengan sebutan harfiahnya, benar-benar di sudut ruangan, dipisahkan oleh rak-rak buku sebagai sekat yang menghalanginya dengan bagian utama perpustakaan yang penuh dengan meja-meja dan kursi di antara rak-rak penuh buku.
Matanya menyapu seisi ruangan, hanya ada dua siswa selain dirinya, dan keduanya sedang asik membaca. Dyo melangkah pelan menuju rak komik, memilih komik yang akan ia baca untuk membunuh waktu selagi menunggu pukul tiga. Suasana tenang sekali saat itu, hanya ada alunan pelan musik instrumen yang berasal dari speaker di dekat komputer di meja sirkulasi dan suara lembaran buku dibalik.
Dyo mengambil dua buah komik One Piece dan satu komik Kindaichi, ia membawanya kembali ke sudut baca. Menit berikutnya ia sudah duduk bersila di atas karpet di sudut baca, punggungnya bersandar ke tembok dan ia mulai membaca komik dengan tentram.
Diam-diam Dyo mulai menyukai perpustakaan, meskipun ia tidak begitu rajin membaca, ia suka dengan ketenangan, ia suka menghabiskan waktunya sendirian dan tidak diganggu. Dyo menyadari bahwa perpustakaan adalah tempat yang tepat untuk ketenangan yang dia cari.
Ke mana saja ia selama ini? Mendadak ia berharap jarum jam pendek tidak cepat-cepat bergerak ke angka tiga.
*
“Bu Iisss, aku pulang dulu ya” Kata Nisa seraya meletakkan ketujuh buku yang akan dipinjamnya di atas meja.
“Iya, sebentar lagi juga tutup kok” Bu Iis melihat ke arah jam dinding. Jam tiga kurang lima belas menit.
Segera setelah urusan pinjam meminjam buku selesai, Nisa mengambil ranselnya di loker dan memutuskan untuk memasukkan buku-buku yang ia pinjam ke dalam ransel nanti setelah ia mengenakan sepatunya.
Tapi....
“Lho, sepatuku mana” Ia yakin tadi ia menaruh sepatunya di sini, di tingkat ketiga rak sepatu. Tapi.... kenapa sekarang sepatunya berganti dengan sepatu yang kelihatannya sepatu laki-laki?
Kening Nisa berkerut, pasti ada yang memindahkan sepatunya.
Ia memperhatikan ke arah sekeliling, perpustakaan sudah sepi jadi hanya ada tiga sepatu selain sepatu Bu Iis yang tersisa di luar, satu yang ada di rak menggantikan posisi sepatunya, satu lagi di bawah rak, satu lagi di.....
“Siapa yang naro di deket tempat sampah sih???” Nisa segera mengambil sepatunya sambil menggerutu.
Ia menaruh buku-buku di sebelahnya lalu mengenakan sepatunya, masih sambil menggerutu perlahan. Nisa bisa saja mengambil sepatu yang dengan sombongnya bertengger di rak itu lalu menaruhnya di dekat tempat sampah seperti sepatunya tadi, tapi tidak, ia bukan pendendam. Hanya saja ia belum puas mengomel.
Seraya memeluk buku-bukunya ia menggeser sepatu tersebut dengan ujung telunjuknya, “Punya siapa sih nih sebenernya. Belum pernah kelilipan sepatu ya.” Nisa mengomel dengan nada rendah.
“Kenapa?” Sebuah suara dari belakang Nisa membuatnya sedikit terlonjak, ia menoleh, si sumber suara kembali bertanya, “Diapain sama sepatu saya?”
‘Sepatu saya’ dia bilang. ‘SEPATU SAYA’??? Jadi ini pemiliknya????? Nisa membelalak, jantungnya mendadak mencelos menyadari bahwa lelaki di depannya adalah ketua OSIS yang baru saja menjabat.
Ia tergeragap meskipun sebenarnya ia tidak mengerti kenapa ia mesti gugup. Ia tidak melakukan kesalahan apa-apa, mengomeli sepasang sepatu tidak terhitung kesalahan kan?
“Ng...” Nisa menggigit bibir, memeluk buku-bukunya lebih erat, “Nggak. Gak apa-apa”
Dan detik berikutnya ia sudah berlari pergi meninggalkan si ketua OSIS dan sepatunya dengan kecepatan seperti peluru lepas dari senapan.
*
Gadis itu berbelok dari koridor, membuat Dyo yang memperhatikannya dari belakang dengan mata menyipit tidak melihatnya berlari lagi. Dyo menggeleng perlahan, tidak mengerti kenapa gadis itu harus berlari.
Terlebih Dyo juga merasa konyol, dari sekian banyak pertanyaan kenapa yang terlontar dari mulutnya adalah “Diapain sama sepatu saya?”. Memangnya apa yang bisa dilakukan sepasanga sepatu?
Sejenak ia tersenyum tipis, gadis aneh, pikirnya. Dyo sempat melihat buku-buku yang dibawa gadis tadi, ada tujuh, jumlah yang cukup banyak untuk peminjam buku di perpustakaan sekolah, mengingat aturan peminjaman maksimal tiga buku.
Ada buku besar berjudul ‘Tokyo’ di antara buku-buku yang tadi gadis itu bawa, membuat Dyo tertarik, belum lagi buku-buku lain, ada Narnia jilid keempat, buku NH Dini, buku Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Pipiet Senja, dan Enid Blyton. Perpaduan yang tidak biasa, bacaan gadis itu. Menit berikutnya Dyo sedikit terkejut dirinya sempat memperhatikan dan mengingat detail buku-buku yang dibawa gadis itu.
Ia mengenakan sepatunya sambil berpikir, siapa yang memindahkan sepatunya ke rak? Seingatnya tadi ia meletakkannya di bawah.
Dyo tidak tahu siapa yang memindahkan sepatunya sama seperti ia tidak tahu bahwa siapapun yang memindahkan sepatunya waktu itu, telah membuka satu cerita baru dalam hidupnya.
*
“Nis, kenapa sih mau keluar kelas aja mesti ngintip-ngintip gitu?” Ami, teman sebangku Annisa sekaligus tempatnya menumpahkan segala keluh kesah termasuk cerita di perpustakaan tempo hari menegur Nisa yang sedang melongokkan kepalanya ke luar pintu kelas, menengok kanan kiri, meyakinkan diri bahwa baik depan kelasnya maupun koridor, steril dari keberadaan seseorang yang ia hindari.
“Takut ketemu si Dyo Dyo itu?” Tanya Ami lagi, membuat Nisa langsung mendelik.
“Jangan keras-keras ngomongnya! Ntar kedengeran yang lain disangkanya gue naksir dia”
Ami tertawa, “Ya naksir juga gapapa kali? Dia ganteng, terus berkarisma gitu lagi, ya iyalaah ketua OSIIIIS”
“Apaan sih,” Nisa mendelik untuk kedua kalinya, “Karisma karisma, emangnya dia motor??”
“Aduh, udah ah, kelamaan lo” Ami menarik sahabatnya itu keluar kelas sebelum Nisa sempat memprotes. “Takut banget. Lo kan gak ngapa-ngapain”
“Ya tapi gue ngomelin sepatu dia??? Dia pasti nganggep gue aneh”
“Emang aneh...” Ami menyadari perubahan air muka Nisa dan cepat-cepat menambahkan, “Lagian peduli amat sih? Kan lo juga gak kenal dia, dia gak kenal lo”
Nisa menyadari perkataan Ami benar. Tapi entah kenapa, ia takut bertemu lagi dengan lelaki itu. Sejak interaksi pertama mereka di depan perpustakaan kemarin, Nisa merasa bahwa setiap kali ia tidak sengaja berpapasan dengan Dyo, Dyo sedikit meliriknya dan.... ok, ia tahu ia gila, tapi ia benar-benar merasa seperti Dyo mengamatinya. Seperti... penasaran? Nisa tidak tahu pasti.
Tidak jarang juga Dyo melewati kelasnya ketika jam pelajaran dan dari tempat duduknya di meja ketiga di baris pojok dekat jendela, Nisa bisa melihat Dyo sedikit melirik ke arahnya. Sedikit dan sekilas. Sangat sekilas, seperti hanya satu milisekon.
Ok, mungkin ini hanya perasaannya saja. Makanya ia tidak menceritakan ini pada Ami karena pasti Ami akan berkata: “Ah itu cuma perasaan lo doang”
“Nggak ada kan?” Ami menyikut Nisa yang langsung mengedarkan pandangan ke setiap penjuru koridor. Tidak ada tanda-tanda siswa XI IPA 4 di situ, tidak ada tanda-tanda Dyo di situ.
Saat itu Pak Achyar, guru fisika mereka tidak masuk sehingga otomatis kelas IPA 2 mendapatkan jam kosong yang langsung dimanfaatkan sebagian besar siswa untuk mengobrol, tidur, atau ke kantin, termasuk Nisa dan Ami.
Mereka berjalan ke kantin dan Ami masih berceloteh tentang ketakutan Nisa yang berlebihan. Tatapan Nisa lalu tertumbuk ke arah lapangan, “Eh Mi, itu yang lagi olahraga anak IPA 4 bukan?”
Ami mengikuti arah pandang Nisa, “Iya, XI IPA 4. Kenapa emang?”
“Kenapa lo bilang??? Ya berarti ada Dyo dong???” Nisa buru-buru mengambil posisi di sebelah sahabat karibnya itu, supaya terhalang dari jarak pandang lapangan.
Ami menghembuskan napas lelah,“Ini lama-lama si Dyo kayak setan di film Jelangkung ya”
“Kok Jelangkung?????”
“Ya lo sih! Kenapa takut amat??”
“Gak tau Mi, gue juga gak tau kenapa”
“Santai aja Nis, ya ampun. Kayaknya dia juga udah lupa sepatunya lo maki-maki”
“Gue gak maki-maki sepatunya..”
“Ya pokoknya gitulah”
Nisa diam-diam mengintip dari balik bahu Ami ke arah lapangan, kelas IPA 4 sepertinya sedang test lari sprint dan tepat saat itu, Dyo terlihat berlari cukup kencang menuju garis finish, bagian depan rambutnya tersibak angin membuat Nisa sedikit terkesiap dan ia tidak tahu alasannya.
Dyo di lapangan menyelesaikan test larinya lalu membungkuk, mengatur napas, tidak menyadari kalau ia sedang diperhatikan dari jauh. Saat itulah tangan kanannya terulur, jari-jarinya menyibak bagian depan rambutnya membuat orang yang sedang memperhatikannya diam-diam dari jauh merasakan sesuatu yang aneh, yang membuat perutnya mulas dan lagi-lagi ia tidak tahu alasannya.
Setibanya di kantin, Nisa masih merasakan hal yang tidak bisa ia deskripsikan tadi, tapi ia memilih diam. Membiarkan bayangan si ketua OSIS menyibak rambutnya tadi berkelebatan di otaknya.
Ami sedang memesan es milo untuk mereka berdua ketika Rafi, ketua ekskul majalah sekolah menghampiri Nisa di mejanya. Ia terlihat terburu-buru.
“Ngelamun aja, Nis” Tegurnya membuat Nisa tersentak.
“Eh, hai Raf”
Rafi duduk di depan Nisa sambil menyodorkan secarik kertas. “Tugas baru buat lo nih”
Kening Nisa berkerut, dia memang anggota ekskul majalah sekolah, tapi ia baru tahu kalau ia mendapat tugas tambahan. “Gue kan udah ngirim artikel ke email lo kemaren?”
“Ini tugas darurat, Nis”
“Tugas darurat apa?”
“Tim reporter kekurangan orang buat edisi bulan ini. Lo tau kan si Vina masih sakit. Lo mau gak gantiin tugasnya?”
Nisa memutar mata, tahu benar bahwa ‘mau’ yang dimaksud Rafi adalah ‘bisa’. Jadi kalau tadi dia bilang ‘Lo mau gak gantiin tugasnya?’ sama dengan ‘Lo bisa gak gantiin tugasnya? Bisa dong. Harus.’
“Plis Nis... cuma wawancara satu orang doang kok” Rafi memohon.
Ya kan? Pada akhirnya dia tidak bisa menolak.
“Hhhh. Ok”
“Yesss. Thanks Nis”
“Siapa yang mesti gue wawancara?”
Rafi tersenyum lebar sebelum menjawab, “Ketua OSIS kita.”
*